HUKUM DAGANG
I. Pengertian Hukum Dagang
Hukum
dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan
perdagangan untuk memperoleh keuntungan atau hukum yang mengatur hubungan hukum
antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan
perdagangan .
Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.
Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.
Sistem
hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang
aturan perdagangan.Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1) Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel
Indonesia (W.v.K)
b.
Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan,
yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat.
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat.
Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1KUH dagang, yang isinya sebagai berikut:
Adapun
mengenai hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang
khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.
KUHD lahir bersama KUH Perdata yaitu tahun 1847 di Negara Belanda, berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas 2 buku, buku I berjudul perdagangan pada umumnya, buku II berjudul Hak dan Kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.
KUHD lahir bersama KUH Perdata yaitu tahun 1847 di Negara Belanda, berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas 2 buku, buku I berjudul perdagangan pada umumnya, buku II berjudul Hak dan Kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal.
Hukum Dagang di Indonesia bersumber pada :
1. Hukum tertulis yang dikodifikasi yaitu :
a. KUHD
b. KUH Perdata
2. Hukum tertulis yang tidak dikodifikasi,
yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan dengan perdagangan, misal UU Hak Cipta.
Materi-materi hukum dagang dalam beberapa bagian telah diatur dalam KUH Perdata yaitu tentang Perikatan, seperti jual-beli,sewa-menyewa, pinjam-meminjam. Secara khusus materi hukum dagang yang belum atau tidak diatur dalam KUHD dan KUH Perdata, ternyata dapat ditemukan dalam berbagai peraturan khusus yang belum dikodifikasi seperti tentang koperasi, perusahaan negara, hak cipta dll.
Materi-materi hukum dagang dalam beberapa bagian telah diatur dalam KUH Perdata yaitu tentang Perikatan, seperti jual-beli,sewa-menyewa, pinjam-meminjam. Secara khusus materi hukum dagang yang belum atau tidak diatur dalam KUHD dan KUH Perdata, ternyata dapat ditemukan dalam berbagai peraturan khusus yang belum dikodifikasi seperti tentang koperasi, perusahaan negara, hak cipta dll.
II. Hubungan Antara Hukum Dagang dan Hukum Perdata
Prof.
Subekti S.H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini
dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena sebenarnya “Hukum Dagang” tidaklah
lain daripada “Hukum Perdata”, dan perkataan “dagang” bukanlah suatu pengertian
hukum, melainkan suatu pengertian ekonomi.
Seperti telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHS dan KUHD
hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi (yang
menjadi sumber terpenting dari Hukum Perdata Eropa Barat) belum ada
peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan
antar negara baru mulai berkembang pada abad pertengahan.
Adapun pendapat beberapa sarjana hukum
lainnya tentang hubungan kedua hukum ini antara lain adalah sebagai berikut :
·
Prof.
Sudiman Kartohadiprojo berpendapat KUHD merupakan suatu Lex Specialisterhadap
KUHS sebagai Lex Generalis. Maka sebagai Lex Specialis, kalau
andaikata dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai hal yang dapat aturan pula
dalam KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku
·
Van
Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata, yaitu
suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS memuat hukum perdata
dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal
khusus Hukum Perdata dalam arti sempit itu
·
Sukardono
menyatakan, bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Dagang dengan
Hukum Perdata Umum .........sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS
·
Van
Apeldoorn menganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum
Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS
·
Tirtamijaya
menyatakan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa
III. Hubungan Antara Pengusaha dan Pembantu-Pembantunya
Pengusaha adalah seseorang yang menjalankan perusahaan atau menyuruh
menjalankan perusahaan. Dalam menjalankan perusahannya, pengusaha dapat :
·
Menjalankan
perusahaannya sendiri
Bentuk
perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri. Umumnya
terdapat pada perusahaan perseorangan;
·
Dilakukan
dengan bantuan pekerja
Pengusaha
turut serta dalam menjalankan perusahaannya dan mempunyai dua kedudukan yaitu
sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan. Biasanya terdapat di perusahaan
besar;
·
Menyuruh
orang lain
Dalam
hal ini pengusaha menjalankan usahanya tetapi tidak ikut serta dalam
menjalankan perusahaan. Pengelolaan perusahaan dikuasakan kepada orang lain. Orang
lain yang diberi kuasa ini menjalankan perusahaan atas nama pemeri usaha.
Umumnya pemberian kuasa semacam ini terdapat pada perusahaan persekutuan,
terutama yang berbadan hukum.
Namun, di dalam menjalankan kegiatan suatu perusahaan yang dipimpin oleh
seorang pengusaha, tidaklah mungkin seorang pengusaha melakukan usahanya
seorang diri, apalagi jika perusahaan tersebut dalam skala besar. Oleh karena
itu diperlukan bantuan orang/pihak lain (pembantu-pembantu perusahaan) untuk
membantu melakukan kegiatan-kegiatan usaha tersebut.
Pembantu-pembantu
dalam perusahaan dapat dibagi menjadi 2 fungsi yaitu :
1. Membantu didalam perusahaan
· Pelayan
toko
· Pekerjaan
keliling
· Pengurus
filial
· Pemegang
prokurasi
· Pimpinan
perusahaan
2. Membantu diluar perusahaan
· Agen
perusahaan
· Perusahaan
perbankan
· Pengacara
· Notaris
· Makelar
· Komisioner
Hubungan hukum antara pimpinan perusahaan
dengan pengusaha bersifat :
1) Hubungan
perburuhan, yaitu hubungan yang subordinasi antara majikan dan buruh, yang
memerintah dan yang diperintah. Manager mengikatkan dirinya untuk menjalankan
perusahaan dengan sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk
membayar upahnya (pasal 1601 a KUHPER)
2) Hubungan pemberian kekuasaan, yaitu
hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 dsl KUHPER yang menetapkan sebagai
berikut ”pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas nama
pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan”. Pengusaha merupakan pemberi
kuasa, sedangkan si manager merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa
mengikatkan diri untuk melaksakan perintah si pemberi kuasa, sedangkan si pemberi
kuasa mengikatkan diri untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian yang
bersangkutan.
Dua sifat hukum tersebut di atas tidak hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan
dan pengusaha, tetapi juga berlaku bagi semua pembantu pengusaha dalam perusahaan,
yakni: pemegang prokurasi, pengurus filial, pekerja keliling dan pelayan toko.
Karena hubungan hukum tersebut bersifat campuran, maka berlaku pasal 160 c
KUHPER, yang menentukan bahwa segala peraturan mengenai pemberian kuasa dan
mengenai perburuhan berlaku padanya. Kalau ada perselisihan antara kedua
peraturan itu, maka berlaku peraturan mengenai perjanjian perburuhan (pasal
1601 c ayat (1) KUHPER.
Hubungan pengusaha dengan agen perusahaan adalah sama tinggi dan sama rendah,
seperti pengusaha dengan pengusaha. Hubungan agen perusahaan bersifat tetap.
Agen perusahaan juga mewakili pengusaha, maka ada hubungan pemberi kuasa.
Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI, Buku II, KUHPER, mulai dengan
pasal 1792, sampai dengan 1819. Perjanjian bentuk ini selalu mengandung unsur
perwakilan (volmacht) bagi pemegang kuasa (pasal 1799 KUHPER). Dalam hal ini
agen perusahaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan pihak
ketiga atas nama pengusaha.
Kewajiban
Pengusaha
Pengusaha adalah setiap orang yang
menjalankan perusahaan. Menurut Undang-Undang, ada dua macam kewajiban yang
harus dilakukan oleh perusahaan yaitu :
1. Membuat pembukuan (sesuai dengan Pasal 6
KUH Dagang Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan) dan di
dalam pasal 2 Undang-Undang nomor 8 tahun 1997 yang dikatakan dokumen
perusahaan adalah terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen lainnya.
§ Dokumen keuangan terdiri dari
catatan (neraca tahunan, perhitungan laba, rekening, jurnal transaksi harian)
§ Dokumen lainnya terdiri dari data
setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi
perusahaan, meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan.
2. Mendaftarkan perusahaannya (sesuai
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib daftar perusahaan). Dengan
adanya Undang-Undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan maka
setiap orang atau badan yang menjalankan perusahaan, menurut hukum wajib untuk
melakukan pemdaftaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya
sejak tanggal 1 juni 1985. Berdasarkan pasal 25 undang-undang nomor 3 tahun
1982, daftar perusahaan hapus jika terjadi :
·
Perusahaan
yang bersangkutan menghentikan segala kegiatan usahanya;
·
Perusahaaan
yang bersangkutan berhenti pada waktu akta pendiriannya kadarluasa;
·
Perusahaan
yang bersangkutan dihentikan segala kegiatan usahanya berdasarkan suatu putusan
pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Sumber:
Neltje F. Katuuk, 1994, Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam
Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta